Tuesday, February 11, 2020

TATA CARA ADAT PEMAKAMAN (BAYA LO BULILO) (Pada masyarakat adat suku gorontalo)



TATA CARA ADAT PEMAKAMAN
(BAYA LO BULILO)
(Pada masyarakat adat suku gorontalo)

Dr. Ibnu Rawandhy N. Hula, SS. MA. 


4 (empat) real.
Kalau acaranya “Pongo-pongo’abu dengan contoh upacara pemakaman seorang pejabat di Limboto, maka “ULIPU MOHUDU TANGGOTA” atau MENYERAHKAN PELAKSANAANNYA KEPADA ULIPU Suwawa, Gorontalo, Bolango (tapa) dan Atinggola dengan aadati potidugu bernilai 4 (empat) real.Kalau acaranya di Gorontalo maka Ulipu mohudu tonggota kepada ulipu Suwawa, Limboto, Bolango dan Atinggola, demikian seterusnaya. Makna dari Aadati Potidungu yaitu adat berjenjang turun yang mempunyai maksud:
1.       Sebagai penghormatan atasan kepada bawahan bubato seperti kepada baate, kimalaha atau Udula’a atau (kepala kelurahan sekarang). Misalnya pihak Raja atau Bupati/Walikota menyerahkan pelaksanaan acara kepada baate setempat.
2.       Penyerahan kekuasaan oleh Ulipu, sehingga yang menerima kekuasaan itu bertanggung jawab sepenuhnya atas acara yang dilaksanakannya tanpa kerugian lagi. Misalnya penyerahan acara oleh ulipu Limboto kepada ulipu Suwawa Gorontalo, Bolango, dan Atinggola.
3.       Mempererat kerukunan hidup uduluwo limo Lo Pohalaa Gorontalo.

A.     PROSES PELAKSANAANNYA
1.       Setelah tanggung jawab pelaksanaannya sudah berada ditangan pemangku-pemangku adat dan pegawai Syara’, maka kegiatan dimualai dengan acara pembuatan “Tu’Adu Aadati” (tangga adat) yang disebut TOLITIHU.
2.       Selanjutnaya pengaturan tempat duduk dengan istilah “Adat Momulito Huhulo’a untuk pejabat, pemangku adat, pegawai syarak dan masyarakat umum diiringi dengan “Mopodidi” yaitu kain putih satu meter, yang menjadi ikat kepala dari pejabat yang hadir. Sebelumnya telah diadakan mandi awal oleh keluarga, yang disebut “Taluhu Ongo ngala’a” (air mandi keluarga).
3.       Acara yang berlangsung dirumah duka adalah mengukur mayat untuk kepentingan menggunting kain kafan dan mengukur kubur.
4.       Usungan yang disiapkan, ialah usungan untuk mayat dan usungan Lo Huwa (yang berfungsi sebagai pemandu).
5.       Disaat kuburan digali, kain kafanpun digunting, dan tahlil berlangsung pula.
6.       Selesai dimandikan, lalu dikafankan dan seterusnya sholat jenazah. Acara di rumah selesai pada saat sholat jenazah.
Acara di tempat pemakaman berturut-turut sebagai berikut:
1.       Penurunan dari usungan.
2.       Memasukkan ke kubur dan sekaligus ke liang lahat.
3.       Membuka ikatan kafan dan sekaligus memperdengarkan azan.
4.       Memasang ‘duwolo’ dan tiang-tiang pelindung yang dilapisi dengan wamo’o atau lapisan dari ijuk, diikuti dengan penimbunan dengan tanah.
5.       Pemasangan tanda atau nisan.
6.       Menyiram air.
7.       Mogara’I atau memberi gelar.
8.       Talqim dan Do’a.
Acara kegiatan Hileyiya atau peringatan do’a arwah terhadap yang meninggal, sebagai berikut:
1.       Hari pertama, kegiatan tahlil
2.       Hari ke tiga, kegiatan tahlil dan takziah
3.       Hari ke lima, kegiatan tahlil dan takziah
4.       Hari ka tujuh, kegiatan tahlil dan do’a arwah secara umum/atau undangan
5.       Hari ke empat puluh, penurunan batu nisan
6.       Hari ke seratus, kegiatan tahlilan
7.       Hari ke duaratus, kegiatan tahlilan
8.       Hari ke tigaratus, kegiatan tahlilan
Selesai hari ke tigaratus, kegiatan keluarga hanyalah peringatan tiap tahun pada hari kematiannya dengan istilah adat “Mo’ela Mongopanggola” artinya mengingat arwah orang tua-tua, atau lebih dikenal dengan istilah “MOHAWULU”.
B.     PEMBUATAN TU’ADU AADATI, ATAU TOLITIHU (Tangga Adat)
Tangga adat atau Tolitihu adalah pertanda pelaksanaan upacara adat.Yang bertugas melaksanakan pembuatan tu’adu aadati ini adalah Kepala Kampung di rumah duka itu. Pembuatannya diserahkan kepada aparat kampung yang terdiri dari:
1.       Dulutuli (juru tulis)
2.       Mayulu (Mayur kampung)
3.       Pualayihe (Kepala Pedukuhan)
4.       Serta beberapa orang anggota masyarakat yang tahu tentang pekerjaan tersebut.
Bahan-bahan bangunan terdiri dari:
1.       Dua pohon pinang
2.       Bambu kuning (Talilo Hulawa) sesuai kebutuhan
3.       Pucuk janur yang disebut ‘Lale’ sesuai kebutuhan
Bentuk bangunannya terdiri dari:
1.       Empat buah tiang setinggi dasar lantai rumah, dipancangkan ditanah, didepan pintu masuk ke dalam rumah, di atasnya diletakkan di ujung tangga, sedang ujung lainnya langsung ke tanah.
2.       Tangganya yang dianyam disebut Tolitihu terdiri dari susunan lima pohon bambu yang melintang, yang membentuk empat bagian yang diisi dan dianyam dengan bambu-bambu yang telah di belah-belah selebar kira-kira 5 cm.
3.       Lima potong bambu di atas akan membentuk rangka tangga yang dirangkaikan dengan empat bilah bambu memanjang dari pintu rumah ke tanah, tangga itu terletak diatas empat pohon bulu yang memanjang.
4.       Di pintu masuk dibuat janur yang melengkung yang diikat pada dua pohon pinang yang didirikan di kiri dan kanan.
5.       Di sebelah luar pohon pinang dipasang lagi dua potong bambu kuning yang ujungnya terbuka seperti mulut buaya (Ngango Lo Huwayo).
6.       Di kiri kanan tangga dibuat tempat pegangan dan di atasnya di gantungkan ‘Lale’ (janur) sepanjang tangga itu.

C.     MAKNA ACARA PERSIAPAN
Ada dua hal yang penting mengawali persiapan yaitu:
1.       Musyawarah, yang melibatkan para pemangku adat, pegawai syarak, pemerintah setempat termasuk kepala kampung dan keluarga. Dasar musyawarah adalah asas kekeluargaan, sehingga terwujud rasa cinta masyarakat bersama keluarga terhadap yang meninggal. Hal ini merupakan pokok keberhasilan berlangsungnya acara pemakaman dengan sempurna. Pada musyawarah ini pula, tercipta pembagian tugas, kebersamaan kegiatan sesuai waktu pelaksanaan. Wujud hasil musyawarah, dan sebagai pengumuman terhadap Ulipu Negeri dan rakyat adalah pembuatan “Tu’adu Aadati” atau Tolitihu.
Makna Tu’adu Tilitihu adalah sebagai berikut:
1.       Landasan kepribadian, bahwa yang meninggal adalah pejabat Negeri atau Khalifah.
2.       Landasan “Buto’o lo lipu” atau kepentingan Negeri
3.       Lansdasan kekuasaan, bahwa yang meninggal adalah mengayomi masyarakat atau rakyatnya.
4.       Landasan pemerintah, bahwa rakyat merasakan kearifan dan kebijaksanaannya, dalam mentaati ketentuan Negeri.
5.       Merupakan gambaran kesatuan dan persatuan antara rakyat, bubalo, pemangku-pemangku adat, syara’ (biang agama), Bala (perangkat keamanan).
Dengan makna inilah upacara tersebut dapat bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya yaitu suku Gorontalo.












BAB III
PENYELENGGARAAN PEMAKAMAN

A.     EMPAT UNSUR ADAT YANG MENDAHULUINYA.
1.       Taluhu Ungongala’a
a.       Taluhu Ungongala’a biasa juga disebut “Mopolihu Lo Bele“ yaitu sebagai ketentuan adat, yaitu dimandikan oleh keluarga sebelum mandi wajib bagi jenazah oleh keluarga ini di sebut juga “Mopodungga Taluhu Lo Auwali” pelaksanaanya adalah keluarga, bukan pegawai syarak.
b.       Makna adat ini, adalah pembersihan kesalahan-kesalahan jenazah dalam perjalananya ke akheratnya.

2.       Pu’o Liyo
a.       Pu’o Liyo berarti dibangungkan Bagi seorang yang meninggal sebelum pukul 24.00, belum dimakamkan, dan diberlakukan adat “Puo’Liyo” dan “Mopotuluhu” To Buto’o menidurkan dengan adat mopolihu dan motahalili (mandi dan tahlili), yang dilaksanakan oleh pegawai syarak, pa’ili dan hatibi. Dengan diawasi oleh kepala kampong.
b.       Keyakinan adat bahwa mandi adalah pensucian dan tahlil adalah permohonan keampunan bagi jenazah. Serta diterima arwahnya mendapat tempat layak di sisinya.
c.       Mopu’owa (saling membangunkan). Yakni giliran jaga bagi keluarga dan para anggota Bowatulo Totolu.
d.       Saat ini acara point ( C ) tidak di berlakukan lagi. Sebab pelaksanaan pemakaman lebih dipercepat.

3.       Mopobulito Huhulo’o
a.       Mopobulito Huhulo’o, yaitu mengatur tempat duduk sesuai ketentuan adat, di tempat yang telah ditentukan dengan posisi sebagai :
1.       Raja yang kini adalah Bupati/ walikota bertempat duduk di tengah-tengah deretan terdepan.
2.       Di sebelah kananya adalah: Kadhi, Moputi, Hakim Pantongo, Imam, Syaradaa, Bilade, Hatibi (Kasisi), Paili serta mantan pegawai Syara, para syarak dan para syech.
3.       Di sebelah kiri, para Bubato Jogugu, Wulega Lo Lipu atau Camat, Wali-wali Mowali, Mayalu Da’a, Baate, Kimalaha, dst. Termasuk pensiunan para pejabat yang masih hidup.
4.       Di bagian belakang duduk para pemuka masyarakat lainnya, dan rakyat.

b.       Makna Huhulo’a Bulita sebagai berikut:
1.       Penghormatan pada setiap tingkatan derajat dan kedudukan
2.       Pelaksanaan tugas dengan ikhlas serta rasa tanggung jawab, mendapatkan penghargaan dari rakyat.
3.       Rakyat selalu berada di bagian belakang, melayani dan mematuhi perintah dari Buwatula To Tolu. Yang dikembangkan dengan tangga adat.
4.       Persatuan “U Lipu” terjalin dengan baik sepanjang masa.

4.    Mopodidi
      Mopodidi mengandung tiga pengertian
a.       Didi berarti hujan, dalam pengertian, orang yang memakai kain putih yang dibagikan, artinya kena percikan hujan, atau turut berduka cita.
b.       Didiki, yang berarti rezeki, artinya kalau ada hujan berarti ada rezeki bagi tanaman. Hal ini ditandai bagi para arwah ke-40toyopudan bako hati, yang berisi makanan menjadi didi terhadap yang hadir.
c.       Modidi Wawu Maahu, artinya melebur dan hangus, mengandung pengertian bahwa di dunia ini taka da yang kekal, yang beku melebur yang keras akan hancur.
d.       Mopodidi berarti pihak keluarga yang berduka menyerahkan kain putih yang berukuran satu meter yang menjadi destar bagi pemakainya.

Yang berhak menerima dan memakai destar hanyalah khalifah dan Bubato, tidak termasuk di dalamnya pegawai syarak, sedang dari tokoh-tokoh masyarakat yang hadir dalam pemakaman itu, terbatas pada waktu wali-wali kota Mowali saja.

Makna Mopodidi adalah sebagai berikut:
1.       Berupa curahan penghormatan dan permohonan oleh keluarga yang berduka kepada yang menerima didi atau kain destar.
2.       Berupa kewajiban bagi penerima didi, untuk memohon magfirah Allah atas segala dosa-dosa yang telah dibuat oleh jenazah dimasa hidupnya.
3.       Dari segi dimaksud, mopodidi berkelanjutan yaitu melalui Toyopo, bako hati dan makanan di saat hari ke empat puluh.


B.     PENGGALIHAN KUBUR
1.       Pelaksanaan adat pemakaman dipimpin oleh Baate dan untuk menetapkan petugas adalah kepala kampong, petugas terdiri dari lima orang, yaitu:
a.       Yang memandikan.
b.       Yang membuat pola kain kapan.
c.       Yang bertahlil.
d.       Yang meminta tanah kuburan.
e.       Yang menggali kubur.

Khusus untuk menggali kubur dilaksanakan oleh 5 petugas.
Apabila jenazah rakyat biasa, maka petugas untuk meminta tanah dan penggalian kubur dipimpin oleh Hatibi atau Kasasi selaku pegawai Syarak di kampong.
Hatibi adalah petugas yang menentukan dan mengawasi penggalian kubur agar sesuai dengan ketentuan ajaran islam.
Yang meminta tanah dan melakukan penggalian awal adalah Syarak tersebut sedangkan 4 orang petugas lainnya melanjutkan penggalian kubur sampai dengan pembuatan liang lihatnya mempersiapkan batu nisan. Mempersiapkan “duwalo” (potongan-potongan bambu) atau papan-papan sepanjang lebih kurang 75 cm yang berfungsi sebagai pelindung mayat, dan menyiapkan “wamoo” (bahan pelapis duwalo” dari pada ijuk pohon enau.
Sebelum menggali kubur disiapkan lebih dahulu ukuran panjang jenazah oleh kasisi atau hatibi. Panjang kubur yang digali sama panjang dengan panjangnya jenazah yang bersangkutan.
Apabila yang dimakamkan jenazah seorang Raja maka yang meminta tanah adalah Hakimu dari perangkat Syarak.Hakimu pula yang mengatur panjang jenazah yang bersangkutan. Ukuran jenazah tersebut dibawa dengan gendering ke tempat tanah kuburan yang akan diminta itu. Ukuran letak jenazah tersebut diletakkan di baki dan di payungi, dikawal oleh:
·      Pobuwa, pasukan yang dipimpin oleh Paaha atau Pahalawani
·      Ta’uwa Lo Pobuwa (kepala atau komandan pahlawani)
·      Mayulu dan Udula’a kepala-kepala kampong
·      Pegawai Syarak yang terdiri dari:
Ø  Ti Pantungo
Ø  Ti Hakimu
Ø  Ti Imamu
Ø  Ti Syaradaa.

C.     MOGARA’I
Mogara’i adalah pemberian gelar (gara’I) kepada jenazah.Pemberian gelar tidak terbatas pada mongopulubila saja, tetapi termaksud juga “tawu Daata” dengan syarat yang bersangkutan telah memperlihatkan/ berbuat jasa-jasa baik dan karya-karya nyata di dalam masyarakat selama hidupnya.
Maksud pemberian Gara’I menurut S.R Nur (1979: 151-152) ialah:
1.       Merupakan pemberian kehormatan kepada seorang pejabat maupun bukan pejabat terhadap segala karyanya yang berguna bagi umum di masa hidupnya.
2.       Merupakan teladan bagi manusia lain terutama turunanya untuk membuat karya-karya seperti telah dibuat oleh ayahnya, kakeknya,neneknya. Jika gara’I itu bernilai positif.
3.       Menjadi cambuk/dorongan atau diistilahkan “Wuntulo” bagi siapa saja. Terutama bagi keturunanya dari yang diberi gara’I untuk merehabilitas nama baik ayah diberi gara’I untuk menghasilkan nama baik ayah, neneknya, kakeknya, jika gara’I yang diberikan itu sinis. Ada dua macam gara’I menurut sifatnya:
a.       Mengandung pujian diistilahkan “TAYUYU”
b.       Mengandung ejekan/sinis, diistilahkan “WENTEO”
Pulangga yang dimiliki oleh seorang pejabat, apabila ia telah meninggal tidak menjadi syarat dalam pembrian gara’I, seorang pejabat pada waktu memegang tampuk pimpinan dan belum diberikan pulangga, apabila meninggal dunia dapat diberikan gara’I berdasarkan karya dan jasa-jasanya.
Acara mogara’I atau memberikan gelar didahului oleh musyawarah “U Duluwu Lo’u Limo Lo pahala’a” yang dipimpin oleh baate atau Wu’u selaku penanggung jawab pelaksanaan acara.Musyawarah dilaksanakan setelah selesai mopodidi. Yang hadir dalam acara musyawarah itu antara lain kadhi bersama aparatnya, pemangku-pemangku adat dan keluarga yang berduka. Musyawarah itu diadakan di tempat pembuatan kabatala bukan dirumah kedukaan.
Usul gelar datang dari Baate dan harus disetujui terutama oleh keluarga almarhum/almarhumah.Gelar itu biasanya di samping didasarkan atas karya dan jasa-jasanya, juga dinilai dari sikap dan kepribadiannya Misalnya Bupati A. Wahab dengan gara’I “TAALOTOLOTINEPO” artinya, yang menghargai rakyat, camat NICO RAHIM dengan gara’I “TAAYILLOYOONGA TO LIPU”.
Makna pemberian gelar itu terhadap yang bersangkutan sebagai penghormatan yang terakhir. Dan berupa pernyataan bahwa hidup penuh kebaikan dan pengabdian itulah yang bernilai dan meninggikan nama bagi yang meninggal.
Dengan menyebutkan segala nama kebaikan yang di simpulkan gelar itu merupakan pula “dulialo” atau takziah yang paling bernilai terhadap keluarga yang berduka atau almarhum ataupun keluarga mendapat kehormatan dari ulipu dan nilai baik di mata masyarakat. Bagi rakyat banyak nilainya adalah hal yang patut diikuti.Jadi merupakan pendorong kea rah perbuatan-perbuatan yang bernilai sosial.


D.     PEMBUATAN USUNGAN
Salah satu dari kegiatan dari kabatala atau perlengkapan jenazah, adalah dari:
1.       Kain kafan beserta kelengkapannya yang terdiri dari: kemenyan, kayu cendana dan kapas.
2.       Air mandi dan perlengkapannya, yaitu sabun cuci kapur barus, pupur batu.
3.       Bunga rampai.
4.       Gendering hantalo.
5.       Sedekah dll.
Pembuatan “huhulihe” (usungan) dilaksanakan oleh keluarga dengan bantuan para tetangga, handai tolan yang terutama kaum ibu.Dewasa ini masalah usungan tidak sulit lagi karena setiap masjid telah menyediakan usungan.Dilihat dari seratus jenazah itu maka ada beberapa macam bentuk usungan bila dilihat dari bagian atasnya.Bagi tuango lipu atau rakyat, usungan biasa saja tidak ada suatu bentuk bangunan hias diatas penutup usungan itu.Kecuali 4 tangkai bunga yang dibuat dari kain putih (tombutungo), yang ditancapkan pada empat sudut bagian penutupnya.Inipun kelihatannya kadang-kadang ada, kadang-kadang pula tidak ada.Usungan tersebut kadang-kadang dilengkapi dengan 2 atau 4 buah payung dan kadang-kadang pula tidak memakai payung.Hiasan atau kelambu yang menutup usungan segi empat itu berwarnya putih.Penutupnya ada dua bagian, yaitu penutup usungan itu sendiri yang dibuat dari kain putih dan penutup untuk jenazah yang diletakkan dalam usungan. Bentuk penutup jenazah itu dasarnya segi empat dan bagian atas penutupnya berbentuk setengah lingkaran (bulati’a) di bagian sisi atas usungan dililiti dengan kain berwarna hitam, hijau atau biru tua dengan lebar 40 cm. di atas kain lilitan itu tertulis nama Allah dengan tulisan warna emas di sepanjang kain itu dengan menggunakan jarak tertentu antara tulisan yang satu dengan tulisan berikutnya. Kain lilitan itu yang disebut “pasimeni” ada juga yang menyebut “pakadanga” artinya yang di keataskan.
Usungan bagi jenazah Raja, dan yang setingkat dengannya seperti Kadhi, Bupati dan Walikota, dibagian penutup usungan sebelah atas diletakan bentuk hiasan yang disebut “ka’abah”. Dasar ka’abah segi empat sebesar penutup usungan.Dari empat segi itu dibangun empat sisinya dan bertemu pada satu sudut puncak.Tingginya sekitar 70 cm.
Ka’abah tersebut ditutup pula dengan kain putih. Di atas sudut puncak didirikan satu tiang dan pada tiang itu dibuat lingkaran minimal tiga buah bersusun yang bentuk dan besarnnya sama seperti gula batu (pahangga) bagi usungan jenazah Raja, diatas tiang itu diletakkan “paluwala” atau mahkota kerajaan sebagai lambing kewibawaan kerajaan.
Untuk usungan Kadhi dan Mufti akan memakai paluwala tetapi “sorban”, untuk Baate, Wu’u memakai destar (payungo). Bagi mereka yang pernah menjabat sebagai Jogugu atau Wedana, Pembantu Bupati, Wakil Bupati, Wakil Bupati Walikota, usungannya sama dengan usungan Raja.
Usungan dari para pejabat tersebut dihiasi ladi dengan kain yang dijahit tergantung di bawah pakadanga (pasimeni).Ukuran kain tersebut lebarnnya sekitar 40 cm. ujungnya yang tergantung dilipat ke atas terdiri dari beberapa lipatan, sehingga lipatan-lipatan itu membentuk segitiga.Tiap lilitan dibuat sebesar 10 cm. kain tersebut dalam bahasa adat disebut “timba”.Di sisi bagian kiri dan kanan usungan masing-masing terdiri dari dua belai dan di sisi bagian muka dan belakang masing-masing sehelai saja.
Pelengkap usungan lannya adalah empat buah payung atau lebih, yang akan mengiringinya di sisi kiri dan kanan. Payung adat ini disebut “Toyungo Bilalanga” artinya payung kemuliaan.Warnanya kuning tua/kuning keemasan.Kreasi sekarang adalah payung hitam dengan hiasan bagian bawahnya adalah kelambu putih, tergantung 50 cm melingkari tepi payung. Usungan jenazah Raja, dilengkapi dengan “Huhulihe Lo Hua” (usungan goa), menurut sejarahnya suatu pertanda ada kerja sama, antara kerajaan Gorontalo dengan kerajaan Goa Usungan Goa berada di depan, sebagai pemandu atau pembuka jalan.
Usungan itu dibawa oleh satu kelompok pasukan (Pobuwa) dipimpin oleh pahalawani, dan dipikul maju mundur dengan maksud membuka jalan yang dilalui oleh usungan jenazah itu.Usungan Goa dilingkari dengan kain putih. Sedang pembawaanya memakai destar putih. Isinya adalah kelapa muda, tebu, mulut buaya yang dibuat dari bamboo kuning dan janur.Kain putih yang melingkari usungan itu di sedekahkan kepada pembawanya yang 4 orang itu. Jenis dan bentuk usungan Raja berlaku pula bagi usungan jenazah pembantu Bupati/Wakil Bupati yakni Ka’abah berpaluwala sedangkan untuk Kadhi dan Mufti, sorban diatas Ka’abah, Baate dan Wu’u destar (payungo) di atas Ka’aba. Untuk wulea lolipu atau camat, jenis usungannya sama, hanya berbeda pada Ka’abah, tidak penuh pada penutup usungan tetapi lebih kecil hanya memakai destar diatasnya.
Kalau M’bu”I yang meninggal yaitu istri raja atau istri bupati, walikota, pembantu bupati, usungannya tidak memakai Ka’bah tetapi bulati’a.bentuk dasarnya segi empat sebesar penutup usungan dan diatas dasar itu dibuat benutup penutup sepanjang segi empat, setngah lingkaran. Bagi usungan jenazah istri wuleya lo lipu, bulatia’a tidak penuh pada penutup usungan.Menurut sejarah Kerajaan Limboto dan Gorontalo ada beberapa Mbu’I yang bertepatan pula.Sementara jabatan maharaja atau bekas maharaja.Ketika wafat diberi penghormatan pada huhulihe dengan memakaikan Ka’bah. Maharaja-maharaja itu adalah antara lain MITU dan Limboto, Molie dari Gorontalo.
Tahuda mengatakan:
ILOMATA LO’U BU’A                :  Karya  bakti wanita
ODE lai POHUTUWA                :  Upacara sebagai laki-laki
TADIDIO TAYUYUWA              :  Hormati dan muliakanlah
ILOMATA TO LAHUWA             :  Karya bakti pada Negara
YELINGGALA LO’U BUWA        :  Yang didarmakan oleh wanita
LA’I-LA’I POHUTUWA               :  Upacarakan seperti laki-laki

Dengan demikian gender wanita tetap dihargai sejak dahulu menurut adat Gorontalo.
Makna :Adapun usungan beserta hiasan – hiasannya mengandung berbagai macam makna. Usungan itu sendiri menggambarkan tanda kebesaran bagi yang meninggal, dan berupa pemberian kemuliaan kepadanya sebagai penghargaan yang datang dari Ulipu. Sedangkan makna bagian-bagiannya yang terdiri dari kelambu bermakna aturan dasar adati: bulati’a bermakna ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan adat yang disebut “Wu’du”, dan hiasan bulata’a bermakna kebijaksanaan-kebijaksanaan atau “tinepo”. Maknanya ini menunjukkan bahwa yang meninggal adalah pemimpin rakyat yang taat atas segala ketentuan lo ulipu dan disertai dengan tindakan-tindakan yang penuh kebijaksanaan.
Kain kelambu yang digunakan terdiri dari:
·         Warna putih perlambang kesucian atau pakaian ikhram
·         Warna hijau perlambang warna selendang RAsulullah.
Warna-warna kain tersebut mengandung makna agar yang meninggal memperoleh rahmat kesuciaan dari Allah serta mendapatkan safaat Rasululah. Kain hiasan yang disebut “timba” atau “selendang” bermakna, bahwa yang diusung adalah orang yang terhormat, begitu pula payung-payung pengiring adalah perlambang kebesaran.
Ka’bah merupakan hiasan diatas penutup usungan mengandung makna bahwa yang meninggal itu adalah seorang yang memikul kepemimpinan negeri. Dan bentuk gula batu (3 macam) pahangga bermakna tiga unsur pimpinan negeri yaitu:
·         Pahangga pertama ; menunjukkan kedudukan Raja atau pimpinan negeri (bubato)
·         Pahangga kedua ; menunjukkan kedudukan pimpinan agama (syarat)
·         Pahangga ketiga ; menunjukkan kedudukan pimpinan Negara yang dikenal Adati termasuk pimpinan keamanan negeri (bala).
Pahangga pertama adalah yang paling bawah, yaitu menjadi penunjuk pimpinan negeri atau Raja, hal ini membuktikan bahwa pimpinan negeri atau Raja, adalah yang memikul segala tanggung jawab pemerintahan di  semua bidang. Pimpinan negeri menjadi tanggung jawab tunggal di daerah seperti yang berlaku pada undang-undang.Pokok pemerintahan di daerah nomor 5 tahun 1974.
·         Ka’bah yang dibatasi pada keempat sudut penutup usungan dengan 4 buah “Tumbutungo”.
·         Tumbutungo adalah setangkai bunga yang dibuat dari kain putih kira-kira sebesar bunga matahari yang dibuat bertangkai satu, dan setiap tangkai bersusun dua buah.
·         Ka’bah yang dikelilingi oleh 4 buah tombutungo itu mengandung makna bahwa di dalam disebutkan nama Allah atau pertanda Zikir kepada Allah. Hal ini memberi makna yang lebih luasnya lagi terhadap yang meninggal, merupakan pertanda akan zikirnya kepada allah sebagai mana dia masih hidup, selanjutnya merupakan do’a, bahwa yang meninggal berada di arena yang penuh rahmat Allah.
·         Makna dari empat tangkai bunga kain (ma’ana lo tumbutungo) pada ke empat sudut usungan sebelah atas, yaitu ke empat sifat/unsur yang ada pada diri manusia, yaitu tanah, api, air dan angina. Ke empatnya harus digunakan secara seimbang dengan kadar yang tertentu, di bawah naungan ka’abah (umat Allah).
·         Makna “bulati’a pada usungan Mbu’I merupakan tanda kebesaran dan kemuliaan bagi jenazah yang ada dalam usungan.


E.      MENGGUNTING KAIN KAFAN
1.       Kain kafan terdiri dari kain putih bersih, yang halus dan lembut.
2.       Kain kafan digunting, sesuai ukuran panjang jenazah ditambah sehasta dari ukuran sebenarnya.
3.       Pelaksana seluruhnya adalah pegawai syarak yaitu Kadhi, Imam, Syarada’a, Bilal, ditambah pemangku adat.
4.       Pertama-tama kain kafan diletakkan dihadapan para pegawai syarak, Kadhi dan Imam memulai tahlil, setelah selesai tahlil barulah menggunting kain kafan.
5.       Bagi jenazah Tuango lipu atau rakyat biasa, buka pejabat/bubato, yang memola kain kafannya cukuplah pegawai syarak dari kampong yang bersangkutan yaitu Hatibi, Bilal atau Syarada’a. demikian pula pelaksanaan tahlilnya.
6.       Makna sebelum dipola kain kafan didahului dengan tahlilan agar pengguntingan kain kafan di dalam wadah tahlilan.
7.       Cara yang ke dua, sambil tahlilan, menggunting kain kafan setelah tahlilan, selesai menggunting kain kafan. Maksudnya, agar kain kafan menjadi suci, menyucikan lahir bathin jenazah.
8.       Kedua-duanya benar, tujuannya hanya satu sebagai do’a agar jenazah itu mendapat Rahmat Ampunan Allah.

F.      MEMANDIKAN
1.       Adat memandikan mayat disesuaikan dengan ketentuan Syare’at islam pelaksanaanya adalah pegawai Syarak, yaitu yang disebut Pa’ili, dibantu oleh keluarga yang meninggal. Kalau pimpinan negeri yang meninggal maka pelaksanaanya adalah Baate atau Wu’u.
2.       Pada saat kabatala sudah siap dipasang pada usungan maka acara memandikan dimulai yang akan menuangkan air pertama ( mopodungga lo taluhu) ialah kalau Raja atau pemimpin negeri yang meninggal maka kadhi/imam yang berkewajiban. Kalau bubato oleh imam/syarada’a dan rakyat oleh bilale dan selanjutnya untuk ketiganya adalah pa’ili.
3.       Air mandi yang disiapkan ada tiga macam sbb:
a.       Air yang digunakan pada awal pemandian adalah tuju percian air adat.
b.       Air mandi lanjutan menurut ketentuan islam.
c.       Air dalam tiga gelas sesuai dengan ketentuan adat sebagai air terakhir.
4.       Dalam memandikan ini diikuti dengan tuja’I-tuja’I (sajak-sajak sebagai berikut):
a.       Yang bertugas memandikan akan memasuki kamar jenazah, lalu bertujai:
·         MONGGUMO (3x)                          :  Aman (3x)
·         BANGI WAWU BANGI                                :  Bukalah dan bukalah
·         BANGI WAWU HIYANGI                :  Bukalah dan mingirlah
·         BANGI MA’O DALALO                    :  Bukalah jalan
·         MA’A MOTA POMUHUTALO                      :  Kami akan memandikan.
b.       Ba’ate di dalam kamar melanjutkan tujainya:
·         EYANGGU (3x)                                          :  Tuangku
·         MAA YILO DUDULA MAYI             :  Telah datang mendekat



















BAB IV
PEMAKAMAN
A.     PENGUSUNGAN
Setelah jenazah di angkat menuju ke kubur atau penguburan maka berlangsunglah yang di sebut acara molalunga. Sebelum jenajah dituja’I  sebagai berikut:
Tutuhu Bulotahula     :Di tandai dengan bunyi-bunyian
Tapulu Molontahulu : Almarhum akan di usung
Polimalo au’uudulo   : Tata cara tersusun baik
Tinelo wu’uudulo      : Tata cara tersusun baik
Aati pilohuwata         : Kasihan keluarga dan rakyat yang di tinggalkan
Eyanggu                    : Tuanku

Di susun oleh pemangku adat yang lain:
Tapulu lo data           : Pemegang tampuk pemerintahan negeri
Buheli dia’apa          : berani dan tegas
Lipu hele diyota        : negri telah kehilangan
Molamo buliyoto      : kini dalam berkabung
Eyanggu                    : tuanku

Selesai tuja’I usungan di angkat dan di bawah oleh bubato, bala (keamanan), pobua di dahului dengan huhulihe lohuwa. Di belakang  usungan (huhulihe lohuwa), adalah  mayulu, baate, wu’u dan pemangku adata lainnya, menyusul usungan jenazah, serta di kawal oleh seluruh bubato, pegawai sarak dan masyarakat umum. Usungan tersebut di iringi payung-payung kebesaran, yang terdidri dari:
1.       Paying warna hitam yang dililiti dengan kain putih tergantung ke bawah, ukuran 40 cm di tempatkan di bawah kaki jenazah (belakang usungan)
2.       Paying warna orange, bentuknya sama dengan payung hitam, di tempatkan pada bagian kepala jenazah dan bagian depan usungan.
B.     PENGUBURAN
1.       Jenazah dikeluarkan dari usungan dan diturunkan ke liang lahat lalu diletakan menurut ketentuan islam. Sementara kafannya di buka, berlangsung azan yang di ucapkan oleh hatibi dan bilal. Maksud azan maksud azan ialah peringatan terakhir yang di perdengarkan oleh jenazah itu.
2.       Selanjutnya di pasang ‘duwalo’ mulai dari arah kiri, di lapisi dengan wamo’o atau ijuk agar tanah tidak masuk ke liang lahat.
3.       Yang di berikan kesempatan pertama menimbuni kubur adalah pihak keluarga, sebagai tanda pertemuan terakhir dan sekaligus sebagai perpisahan, dan di bantu oleh petugas-petugas yang menggali kubur.
4.       Selesai di timbuni, hatibi memasang tanda atau batu nisan, sesuai payu (kerajaan).
5.       Batu nisan yang sementara di pakai, berupa batu gunung, atau tanaman bintalo (jarak), juga bahan bunga kamboja, sebab pemasangan batu nisan sebenarnya nanti hari ke 40.
6.       Bersama dengan batu nisan, juga di tanam pula tombutungo, yang akan membatasi 4 sudut kuburan itu.
7.       Setelah selesai seluruh acara pemakaman, maka akan di letakan di atas kuburan rangka ka’aba.
8.       Acara selanjutnya adalah menyiramkan air di toples ke atas kuburan oleh syarada’a atau hatibi.
9.       Selesai penyiraman di lakukan dengan pemberian gara’I, melalui tuja’I yang mula-mula di ucapkan oleh camat atau wuleya lolipu.
10.   Setelah pemberian gara’I, upacara di lanjutkan dengan talke oleh pegawai syarak, dan di akhiri dengan membaca do’a.
C.     SEDEKAH
1.       Selesai penguburan hiasan usungan di keluarkan dan bersama di bawa kembali. Namun jahitan kelambu yang menutupi usungan tidak di rombak hanya di lepaskan dengan maksud untuk di pasang kembali di rumah selama 7 hari kelambu tersebut di pandang oleh adat sebagai lambang arwah karena sejak hari pertama sampai hari ke 7 roh orang yang meninggal masih ada di dalam kelambu itu.
2.       Para penyelenggara upacara pemakaman baik para pemangku adat, pegawai syarak maupun para pemimpin negeri memperoleh hak berupa balas jasa atau sedekah-sedekah di sesuakan, dan berdasarkan kerelaan dari kepala keluarga yang berduka.
Bagi yang memandikan dan membaca talke atau tahlil mendapat pakaian milik orang yang mati, seperti jas, kemeja, celana, sarung, batik, kopiah, sepayu maupun sajadah tempat shalatnya.














BAB V
HARI-HARI  DOA ARWAH
A.     Makna Hileyiya
1.       Hileyiya adalah suatu kegiatan  sosial dalam rangka kedukaan, arti kata hileyiya yaitu pemindahan kegiatan sosial yang berasal dari tetangga kepada yang berduka, seperti pemindahan dapur tetangga, kerumah yang berduka, agar dirumah tersebut ramai dan yang berduka terhibur. Acara doa arwah tersebut berlangsung pada hari-hari tertentu seperti hari pertama, ketiga, ketujuh dan seterusnya.
2.       Duliyalo
Ada empat macam duliyalo, dalam bentuk hiburan yaitu :
a)       Dalam bentuk nasehat, para tamu berbincang-bincang agar keluarga berduka bersabar dengan musibah duka yang menimpahnya.
b)       Dalam bentuk makanan, yaitu para tetangga dan keluarga, mengantar makanan yang masak kepada keluarga yang berduka.
c)       Dalam bentuk pengumpulan dana yang dalam istilah adat “Dunbihu”. Dunbihu ini di mulai dengan membuat pagar dikolong rumah. Berupa kurungan, dirumah kedukaan.
d)       Dalam bentuk permainan yang terdiri dari permainan mo’awuta dan mototane. Permainan mo’awuta merupakan permainan dua orang yang saling berhadapan dengan menggunakan suatu alat yang di sebut awuta. Mototane adalah permainan dari anyaman benang-benang pada jari tangan. Lanjut, apabila mencabutnya, maka kacaulah benang-benang itu seluruhnya.
B.     Makna hari-hari arwah
1.       Hari pertama
Keyakinan menurut adat gorontalo bahwa hari pertama merupakan hari penghancuran atau hari tantangan bagi si mayat dalam kuburan.Untuk itulah keluarga harus membantu dengan melalui acara tahlil, shalat hadiah maupun bacaan Al-quran.
2.       Hari ketiga
Hari ketiga hanya merupakan hari musyawarah keluarga dalam mengahadapi hari ketujuh yang berlangsung pada malam hari setelah waktu magrib. Disamping musyawarah diadakan pula tahlil dan doa. Pendapat lain bahwa hari ketiga merupakan hari arwah, sedang hari kelima tetap hari musyawarah menghadapi hari ketujuh.
3.       Hari ketujuh
Hari ketujuh adalah hari arwah di mana undangan di perluas sehingga upacaranya lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Yang mengikuti tahlil dan doa harus lebih banyak jumlahnya dari hari-hari sebelumnya. Hal tersebut mengandung makna bahwa pada hari itu adalah hari pemindahan roh dari dalam kelambu menuju pintu keluar rumah. Maka dalam perpindahan itu perlu di antar dengan banyak zikir dan doa agar dia memperoleh keselamatan.
4.       Hari duapuluh
Hari ke dua puluh sama dengan hari ketiga sebagai hari musyawarah keluarga dalam menghadapi hari ke empat puluh tetap juga diadakan tahlil dan doa oleh pegawai syarak atau undangan keluarga. Kalau pejabat negeri yang meninggal maka hal-hal yang di bicarakan dalam musyawarah itu.Yang bermusyawarah bukan saja keluarga yang berduka tetapi juga bersama baate, kadli, dan apitalawu. Hal-hal yang dibicarakan adalah :
a)       Para pemimpin negeri yang akan di undang serta undangan umum.
b)       Konsumsi terutama berhubungan dengan toyopo dan bakohati.
c)       Jenis batu nisan yang dipersiapkan.
d)       Alat pelengkap dan hiasan batu nisan termasuk usungan batu nisan semuanya di sebut “tombulu lo pa’ita”
e)       Mempersiapkan “tihuto pa’ita” (ikatan batu nisan) yang maksudnya ialah sedekah untuk para pelaksana.
f)        Melaksanakan tinilo dan petugasnya.
g)       Pelaksanaan tahlil dan doa arwah.
h)       Dan lain-lain.
5.       Hari ke empat puluh
a)       Kegiatan acara pada hari yang ke empat puluh di awali dengan pelaksanaan tinilo yang berlangsung mulai pukul Sembilan sampai menjelang usungan nisan diangkat ke kubur. Petugas tinilo adalah kaum ibu yang terdiri dari empat sampai tujuh orang. Acara tinilo dilanjutkan dan berakhir pada saat nisan di turunkan dari usungannya. Tinilo tersebut dalam garis besarnya mengandung makna keselamatan mayat dalam kubur, keselamatan negeri dan rakyatnya, serta kelestariannya adat itu sendiri.
b)       Dalam acara hari ke empat puluh tersebut disiapkan “DIDI” bukan dalam bentuk kain putih, tetapi bungkusan makanan yang di sebut “toyopo” dan “bakohati”. Toyopo yaitu tempat makanan yang terbuat dari daun kelapa yang masih muda, isinya adalah lima macam kue, serta nasi bungkus.

0 komentar:

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

Berisi Tulisan dan Artikel yang berkaitan dengan Bahasa Arab, Sastra Arab, Pendidikan, Tafsir, Rasm, Qiraat, Budaya, Tradisi Islam Lokal

Powered by Blogger.

Wikipedia

Search results

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

BAHASA ARAB untuk Para Pemula

BAHASA ARAB untuk Para Pemula
Dr. Ibnu Rawandhy N. Hula, M.A dan Dr. Damhuri, M.Ag

BUKU

BUKU
Qawaid al-Imla' wa al-Khat

My Web List

Translate

Recent Posts

3/recent/post-list

Jam