Tuesday, February 11, 2020

TATA CARA PENOBATAN DAN PEMBERIAN GELAR ADAT/POHUTU MOMULANGGA (Pada Masyarakat Adat Suku Gorontalo)



TATA CARA PENOBATAN DAN PEMBERIAN GELAR ADAT/POHUTU MOMULANGGA(Pada Masyarakat Adat Suku Gorontalo)Dr. Ibnu Rawandhy N. Hula, SS. MADosen IAIN Sultan Amai Gorontalo







BAB I
Pendahuluan
         Membahas dan membicarakan kebudayaan, berarti berbicara atau membahas sesuatu yang bersifat universal. Setiap masyarakat bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat-bangsa yang satu ke masyarakat- bangsa yang lainnya. Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, manusia adalah makhluk pencipta sekaligus sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri. Sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang saling berinteraksi dalam suatu sistem sosial, kebudayaan bersifat lebih konkret, dapat diamati dan diobservasi. Aktivitas manusia yang berinteraksi itu bisa ditata oleh gagasan-gagasan dari tema-tema berpikir yang ada dalam benaknya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah pemahaman nilai-nilai dan makna suatu kebudayaan yang telah dihasilkan dari cipta, karya, dan karsa manusia itu sendiri. Keaneka-ragaman budaya yang ada pada masyarakat Indonesia sangat banyak dan menarik untuk diamati dan diteliti, karena didalamnya terkandung makna dan nilai-nilai berharga yang disampaikan secara khas dan unik lewat simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Gorontalo yang merupakan salah satu dari 19 daerah adat yang ada di nusantara banyak mempunyai keanekaragaman kebudayaan. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut adalah kegiatan upacara adat “Pohutu Momulanga”. Pohutu Momulanga ini adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan untuk penobatan dan penganugerahan “gelar adat” bagi pejabat pemerintah. Upacara Pohutu Momulanga adalah upacara adat yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan pemerintahan. Dikatakan berhubungan dengan ketatanegaraan dan pemerintahan oleh karena upacara ini menobatkan dan menganugerahkan gelar adat kepada pejabat pemerintah yang memegang jabatan yaitu para bupati dan walikota.
 A.     DASAR
1.       Diangkat oleh tuhan derajat orang yang berilmu, terutama orang yang percaya, dari pada kamu (Al-Qur’an).
2.       Barang siapa yang tiada menghormati manusia maka ia tidak dimuliakan oleh Allah (Riadlus Shalihin : 129)
3.       Sesungguhnya orang-orang yang di muliakan oleh Allah itu, ialah orang-orang yang memuliakan orang tua dari pada atas orang-orang islam dan orang-orang ahli Al-Qur’an yang tiada berlaku serong dan kasar, dan orang yang memuliakan Sulthan (Raja) yang adil (Riadlus Shalilhin:182).
4.       Warisan leluhur yang masih diberlakukan di wilayah hukum adat Gorontalo, sebagai mana Tahuli Lo Mongopanggola (pesan para tua-tua)

































B.     PENGERTIAN
Pohutu Momulanga (penobatan), salah satu dari uapcara adat yang ada hubungannya dengan ketatanegaraan dan pemerintahan. Proses penobatan ini pada hakekatnya, adalah pemenang tampuk pemerintahan, diberikan penghargaan, diangkat derajatnya agar berkewibawaan di masyarakat untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat umum. Pohutu dalam penobatan (Raja)  yang memegang tampuk pemerintahan yang tertinggi dalam satu Lipu, diupacarakan dengan sangat khidmat dan penuh kebesaran, dapat disamakan dengan upacara kenegaraan, seperti pelantikan Bupati/Walikota yang didasarkan pada UU No.5. Tahun 1974 tentang  pemerintahan di Daerah.
Apabila seorang Raja (Olangia) terpilih, maka akan diadakan pelantikan (penobatannya). Yang melakukan penobatan Olangia ialah Wu,u di (Gorontalo). Baate Di (Limboto) sebagai Ta’uwa (ketua) dari Banthayo Pobo’ide.Banthayo Pobo’ide adalah sebuah dewan yang dianggotai oleh tiga unsur utama yaitu wakil dari Bupato (Pemerintahan), golongan pemangku adat, dan golongan syara.Keberadaan Ba’ate dan Wu’u sesuai dengan lokasi, yakni di Suwawa, di Gorontalo disamping ada wu’u  ada juga Ba’ate, sedangkan di Limboto hanya ada Ba’ate.Dengan demikian, maka dahulu peradatan pohotu penobatan dilaksanakan dalam hubungan dengan:Dengan pelaksanannya Buwatulo Towulongo yang terdiri dari:1.       Buwatulo bubato dipimpin oleh Ba’ate2.       Buwatulo Syra’ah dipimpin oleh Kadli3.       Buwatulo Bala dipimpin oleh Apitalawu (dahulu di Limboto oleh Mopatu)
 Dengan adanya perubahan struktur pemerintah setelah Indonesia merdeka, kerajaa-kerajaan di daerah ini berubah statusnya, maka jabatan Olongiya dihapus dan diganti dengan jabatan lain sesuai UUD 1945, yaitu Olongiya diganti dengan jabatan Bupati/Walikota sampai dengan Camat untuk wilayah kecamatan. C.     HAKEKAT
  • Pulanga (pemebrian gelar adat), pada hakekatnya mengukur seseorang dalam jabatannya sebagaisumber pola anutan dalam setiap o’oliyo’o (gerakan), sebagai pemimpin negeri.
  • Pemeberian Pulanga mengandung tanggung jawab yang berat bagi yang bersangkutan bukan saja dunia tetapi juga di akhirat.
  • Karena luasnya wilayah kekuasaan dari Olongiya, dan agar tidak berbuat sewenang-wenang maka setiap pelantikan dikukuhkan dengan Tuja’i
  • Tahun 1673 pada jaman Raja Eyato konsep Datahu lo huntu hu’idu mengalami perubahan, yakni dengan yang di fungsinya bantayo pobo’ide, maka kekuasaan di berikan kepada tuango lipu(rakyat), di mana wakil-wakil rakyat menjadi anggota bantayo pobo ide yakni benar- benar demokratis.
  • Pertengahan abad 16 oleh raja motolodula menguatkan syariat islam, yang di akui sebagai agama resmi lo’u lipu(1566), maka adat istiadat di masuki dan di pengaruh unsur keislaman.
 D.     MAKNA




































Makna pohutu penombatan dalma rangka momulanga dapat ditinjau dari beberapa segi, mulai dari segi adat, segi ta tombuluwo yang di berikan pulanga, dan dari segi tuwango lipu (masyarakat), yaitu1.       Dari segi adat dibawahnya adat dapat di pertahankan turun temurun tapi tidak juga membatasi penyesuaian dengan “to mali’a lo duniya wau tuawangiyo” (perubahan dunia dan isinya) akibat perkembangan jaman dan kemajuan pembangunan dan hal itu mempengaruhi adat itu sendiri.
2.       Segi ta tombuluwo yang di berikan pulanga (yang di nobatkan)
3.       Seorang pejabat yang telah dinobatkan berarti telah memperoleh kedudukan dalam adat, atau kedudukan yang tinggi di kalangan tuango lipu. Dan tuango lipu akan menghargai adat memandang dan memuliakan penjabat itu sebagai pola anutannya. Sejak kapan pastinya upacara adat pohutu momulanga di Gorontalo, tidak ada satupun sumber atau informan yang dapat menjelaskan dan memastikan kapan upacara ini mulai ada. Abdul Wahab Lihu, pemangku adat (baate) dari Kabupaten Gorontalo mengungkapkan : “sejak kapan pastinya upacara adat pohutu momulanga ini mulai dilaksanakan dan siapa raja yang pertama mendapar gelar adat ini, tidaklah diketahui secara pasti. Tetapi upacara ini telah ada sejak Gorontalo masih berbentuk kerajaan”. Dalam dokumen-dokumen tata upacara adat Gorontalo, tidak ditemukan kapan upacara adat ini mulai dilaksanakan. Tetapi, dijelaskan bahwa pada masa kerajaan Gorontalo, seorang raja yang terpilih melalui Bantayo Pobo’ide akan dilantik dan dinobatkan (diberi gelar adat) oleh Wu’u atau Baate sebagai Ta’uwa (ketua) dari Bantayo Pobo’ide dalam suatu upacara adat. Pelantikan serta Penobatan dan pemberian gelar adat pada masa itu karena raja (olongia) yang terpilih memang sudah benar-benar memenuhi syarat sebagai seorang raja yang menjadi panutan dalam kehidupannya, baik bernegara, bermasyarakat maupun beragama. Hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan menuturkan bahwa acara-acara adat (termasuk upacara pohutu momulanga) tidak pernah dilaksanakan lagi sejak adanya penjajahan bangsa Belanda yang mulai menguasai kerajaan Gorontalo tahun 1736 M. Kebijakan Penjajah Belanda pada saat itu adalah membekukan (menon-aktifkan) Bantayo Pobo’ide dan menghilangkan jabatan olongia (raja) secara perlahan-lahan dan mengangkat penggantinya, yaitu kepala distrik yang terdiri dari bangsawan hasil didikan budaya Belanda.           BAB IIPERSYARATANAda beberapa faktor yang berhubungan dengan pemberian gelar adat (momulanga) yaitu:A.   Yang berhak di berikan pulanga
1.       pada jaman kerajaan (suwawa, limutu, hulontalo) yang berhak di pilih menjadi Raja (olongia), adalah turunan olongia.
2.       dengan adanya pekmbangan peradaban, serat perkembangan jaman maka yang berhak di pilih adalah :
a.        keturunan Raja/Bangsawan
b.       di segani dan memiliki kebaranian
pahawe3.        pada jaman pemerintahan Eyato dan masuknya agam islam maka persyaratan yang di pertimbangkan melalui persidangan Bantayo pobo’ide yaitu:
a.       keturuanan bangsawan atau Raja
b.       modungga boli opaduma (beragam bijaksana serta berpendirian teguh)
c.        o’agama wau akhlaki molanggato (beragama dan berakhlak tinggi.
d.       .totolohu ohulalo ( tahu mengendali diri serta tahu menggunakan kekuasaan)
e.        moponu wau molaalo (kesayangan kepada rakyat)
f.         to wongo wau hu’ato ( tahu menjalankan hokum)
g.       manasa (berani bertindak, berani menghadapi segala tantangan, berani di depan jika perang.)
Persyaratan diperlukan secara terpadu kepada seorang calon. B.      Waktu pohutu momulanga
1.       Ada tenggang waktu antara jabatan kenegaraan yang di lantik berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku, dengan penobatan dan pemberian adat (momulanga).
2.       Setelah dalam jabatan kenegaraan, telah banyak karya-karya yang di buat oleh pejabat yang bersangkutan disebut “ilomata”, maka waktu pelaksanaan di tentukan berdasarkan dulohupa (musyawara).
3.       Prosesi tili’o atau ilalo, yakni penilaian dari segi adat, memerlukan waktu yang agak lama untuk menentukan boleh atau tidak pejabat yang bersangkutan di beri pulanga, waktu yang di perlukan tiga sampai enam bulan, bahkan sampai setahun untuk menilainya.
4.       Perlunya proses waktu yang lama karena dikhawatirkan pulangan yang di berikan kepada pejabat yang bersangkutan tidak sesuai dengan sikap/perilakunya dengan martabat pulanga, sehingga dianggap merupakan aib dan menodai adat.
5.       Pemenuhan tili’o atau ilalo.
6.       Pelaksanaan dipilih waktu yang terbaik yaitu hari dan tanggal pelaksanaannya membawa keberentungan.
 BAB IIIPELAKSANASecara keseluruhan upacara adat pohutu  pada pelaksanaannya sudah ditetapkan menurut ketentuanadat, dan bersifat permanen.1.       Buwatulo bantayo (baate dan perangkatnya)
Dalam perangkat bantayo, termasuk di dalamnya pejabat pemerintah seperti olongia dan wuleya lo lipu. Jabatan olongia, di tempatkan sebagai tombuluwo. Di kecamatan suwawa sekarang menjadi bagian kabupaten Bonebolango terdapat 3 orang wu’u yang berbeda dilihat dari segi fungsinya dalam adat yaitu: Wu’u pamagumo witohiya yang bertugas mengatur tempat duduk tamu berdasarkan jabatannya.Wu’u yang bertugas menjemput tamu dari tangga.2.       Pembagian tugas seperti ini berlaku juga di kecamatan lain.
3.       Anggota perangkat lainnya ialah kepala kampung yang telah memiliki kepala kampung
4.       Buwatulo syara’a (kadli dan perangkatnya)
5.       Perangkat ini melaksanakan acara dalam upacara adat yang berhubungan dengan keagamaan,
seperti modu’a, mosadiya, monasibu. Dengan adanya perkembangan maka pengangkatan kadli disesuaikan dengan ibu negeri kerajaan (pohala’a), sehingga kabupaten/kota terdapat 5 kadli yaitu untuk kota gorontalo seorang kadli yang mewilayahi 5 kecamatan1.    Buwatulo Bala (apitalawu dan perangkatnya)
Perangkat bala (pagar) adalah penanggung jawab di bidang keamanan keanggotaan.Kalau baate mahir dalam tata cara peradatan, syara’ah mahir dalam ilmu keagamaan(islam), maka perangkat Bala mahir ilmu diri (langga,longgo) dan diri mereka kaabali(kebal), dengan senjata terdiri dari benda-benda tajam serta tongkat dan tombak.2.    Wali-wali mowali dan panggola lipu(bangsawan dan para pensiunan/tokoh)
Wali-wali mowali berperan untuk melancarkan mengatur jalannya upacara. Di suwawa, wali-mowali langsung bertindak sebagai pengacara  di limboto sebelum Baate Molubo kepada kadli (Limboto dan gorontalo) untuk, mopomaklumu suatu O’liyo’o selalu berkonsultasi sebelumnya dengan wali-wali mowali. Dalam upacara adat pohutu momulanga terdapat kerjasama yang rapi sesuai dengan ketetapan adat, yaitu apabila yang diberi gelar adat adalah bupati, maka pelaksananya dari pemangku adat dari Kota Gorontalo. Sebaliknya apabila yang diberi gelar adat walikota, maka pelaksananya pemangku adat dari Kabupaten Gorontalo. Istilah kerjasama ini adalah “huyula” (gotong royong) yang telah diberlakukan sejak janji lo’u duluwo yang berbunyi sebagai berikut: Ubuwa la’i-la’i : yang perempuan bertindak laki-laki Ula’i buwa-buwa : yang laki-laki bertindak perempuan To pohutu teeto teya : pada acara di sana-sini Dengan makna, kedua-duanya (pemangku adat kedua daerah) tidak membedakan pelaksanaan upacara dalam segi tanggung jawab mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Walaupun hal ini sudah merupakan ketentuan di dalam pelaksanaannya selalu diawali dengan “Dulohupa Ode Heluma” artinya musyawarah menuju mufakat, yang dilakukakn melalui beberapa tahapan (lintonga).
                                             BAB IVPERLEGKAPAN DAN KEGIATAN ADAT Yang dimaksud dengan perlengkapan ialah segala peralatan yang berhubungan dengan adat yang diperlukan dalam rangka Pohutu Momulanga yaitu:A.     Peralatan yang dipakai oleh taa tombuluwo
Taa tombuluwo adalah pejabat yang dilantik, busananya adalah:a.       Tutup kepala adalah palulawa (sistem raja), sekarang palulawa diganti dengan kopiah hitam memakai bis kuning emas pada kopiah, dan di samping kanan depan ada kembang sewarna dengan pita tersebut.
b.       Jas tutup berwarna hitam dengan pinggiran berwarna kuning emas pada bagian data.
c.       Celana hitam, dikiri kanannya ada pita kuning emas.
d.       Sepatu hitam
e.       Sarung terlilit di pinggang di dalam jas.
Busan untuk Mbu’I (istri)a.       Tutup kepala bili’u (ratu dalam sistem kerajaan). Sekarang ini memakai konde dengan hiasan 7 tagkai sunthi
b.       Kebaya atau model galenggo,bide batik, memakai selendang dengan hiasan kembang emas pada galenggo (tambi-tambi’o)
B.     Perlengkapan di yiladiya
Yang dimaksud engan yiladiya adalah rumah Dinas bupati/walikota wuleya Lo Lipu (camat) yang akan di beri gelar (pulanga)1.       Alikusu
Adalah pintu gerbang adat, yaitu bangunan yang didirikan di pintu masuk halaman.2.       Tuadu Tolitihu
Yaitu tangga terbuat dari anyaman bambu kuning, yang didasarkan pada tahuda lo mengo panggola sebagai pakuliyo lo tolitihu (landasan).
3.       Bulita (Tempat duduk upacara Adat)
Yang dimaksud dengan Bulita, yaitu tempat duduk bersila, karena itu memerlukan wumbato (alas). Bagi Taa Tombulowo tempat duduknya ialah Kasur Yang dialas dengan permadani. Dan bagi undangan karpet/tikar.Perlengkapan lainnya ialah pomama tala’a (tempat sirih pinang) dan bertahtakan perak untukdisi dengan tilalolo (uang adat) bersama tambaluda (tempat ludah), biasa juga Hukode. Pada saat alat ini digunakan dibawa bersama Toyungo Bilalanga tonggo-tonggola (payung kebesaran terbuka).Hantalo (genderang) ialah suatu alat yang mutlak ada dalam pohutu memulanga yang ditabuh oleh penabuh yang dapat dilakukan oleh pahlawani dan petugas khusus
Alat ini dapat dipakai antara lain mengiringi tahapan area yang ditetapkan oleh adat.      BAB VPELAKSANAANNama gelar-gelar adat tersebut adalah :1)       Ta’uwa Lo Madala
“Madala” bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri yang dipimpinnya dapat memberikan kesejukan hidup para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan, kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa lebih banyak mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sendiri. Indah bukan berarti negeri ini penuh dengan kemewahan, tetapi karena keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dengan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena agamawan dan moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali. Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan untuk mencari kenikmatan dunia inil akan dianugerahi gelar sebagai Ta’uwa Lo Madala.
2)       Ta’uwa Lo Lahuwa
”Lahuwa” adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan sang pemimpin tak segan-segan menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Ketaatan ini membuat masyarakat tenang, dan takut membuat pelanggaran.
3)       Ta’uwa Lo Hunggiya
“Hunggiya” mempunyai arti negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Masyarakat Negeri ini menganggap bahwa seorang penguasa adalah seorang kepala keluarga yang membesarkan, memelihara dan mensejahterakan keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih mementingkan kepentingan rakyatnya daripada kepentingannya sendiri. Dalam pemerintahannya, penguasa tersebut sangat menghargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat terkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan negeri ini selalu dikenang sepanjang masa.
4)       Ta’uwa Lo Lingguwa
“Lingguwa” dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat yang biasa dipakai sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di Gorontalo. Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negeri-negeri sekitarnya. Pembangunan fisik bagi pemimpin ini soal kedua, tetapi pembangunan moral mejadi keutamaan.
5)       Ta’uwa Lo Daata
“Daata” bermakna banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang tercipta, baik pembangunan yang bermanfaat untuk masyarakat atau untuk meramaikan negeri. Penguasa negeri ini mempunyai keberanian dan kemampuan membuat terobosan-terobosan baru dalam hal pembangunan untuk kepentingan masyarakat. Teguh dalam pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar dianugerahi gelar “Tauwa Lo Daata”.1.       Dulohupa wolo taa tombuluwo, adalah musyawarah dengan calon yang akan diberi gelar adat pulanga. Maksudnya ialah penyampaian untuk memberikan pulanga kepada pejabat yang bersangkutan. Yang bertugas membicarakan/menyampaikan maksud tersebut Baate/Wu’u. Apabila pejabat yang bersangkutan bersedia diberi gelar adat, maka lintonga dilanjutkan ketahap berikutnya. Tetapi, apabila pejabat yang bersangkutan belum bersedia, maka akan diadakan musyawarah antara pemangku adat tentang belum bersedianya pejabat tersebut diberi gelar adat. Biasanya alasan belum mau menerima gelar adat tersebut adalah pejabat tersebut merasa belum berbuat apa-apa atau menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat.2.        Dulohupa to bubato lo Limutu, adalah musyawarah para pemangku adat di Limboto. Maksudnya adalah musyawarah tentang pohutu momulanga yang akan dilaksanakan. Pertemuan ini dihadiri oleh semua unsur adat yang ada di Gorontalo. Pertemuan ini tetap dilaksanakan di Limboto walaupun upacara pohutu momulanga berada di kota atau kabupaten lain. Dulohupa ini di kenal dengan nama “Dulohupa momu’o buluwa lo aadati” artinya pertemuan membuka simpanan adat”. Dalam pertemuan ini dibicarakan tentang pemberian gelar adat pulanga yang ditinjau dari segi agama dan pemerintahan.
3.       Baalanga, yang dimaksud baalanga atau mopobaalanga ialahpengiriman utusan dari Limboto (yang ikut pertemuan diatas) ke Gorontalo memaklumkan hasil keputusan Dulohupa bubato lo limutu kepada pemangku adat Gorontalo (walaupun mereka ikut pertemuan di Limboto) untuk melaksanakan upacara pohutu momulanga.
4.        Huhama atau toduwo, ialah mengundang para pejabat dan pemangku adat se-Gorontalo yang dianggap perlu sebagai tamu pada upacara Pohutu Momulanga yang akan dilaksanakan nanti. Huhama, jika upacara akan dilaksanakan di kabupaten mohama-hama atau moloduwo ialah para pemangku adat dari kabupaten, begitu juga sebaliknya, jika upacara di kota Gorontalo maka mohama-hama atau moloduwo para pemangku adat dari kota Gorontalo.
5.       Dulohupa lo bubato lo limutu wawu hulontalo (ta mohutato), Dulohupa ini adalah pertemuan puncak dari lintonga (tahapan sebelum pelaksanaan upacara pohutu momulanga). Pada pertemuan, hadir kembali semua pemangku adat dari seluruh Gorontalo. Hal yang dibicarakan pada pertemuan ini adalah tentang penetapan nama gelar adat yang akan diberikan kepada pejabat bupati atau walikota. Apabila gelar yang akan dianugerahkan tersebut telah pernah dianugerahkan kepada bupati atau walikota sebelumnya, dan mantan bupati atau walikota tersebut masih ada (hidup), maka akan ada utusan untuk menemui mantan bupati atau walikota tersebut untuk memohon doa restu dan fatwa dari  penyandang gelar tersebut untuk menggunakan gelar yang pernah diterimanya untuk dianugerahkan lagi kepada bupati atau walikota.
 Apabila tahapan-tahapan (lintonga) persiapan pelaksanaan upacara pohutu momulanga telah selesai dan telah disepakati tanggal atau waktu pelaksanaan, maka pada hari yang telah ditentukan tersebut akan dilaksanakan upacara penobatan dan penganugerahan gelar adat kepada bupati walikota. Biasanya, para tamu-tamu yang di undang datang sebelum acara dimulai. Tamu yang datang pada upacara tersebut ketika memasuki pintu gerbang (alikusu) akan disambut dengan bunyi-bunyian dari hantalo (genderang). Proses pelaksanaan acara dalam upacara pada hari dan jam yang telah ditentukan tersebut terdiri dari 10 tahapan, yaitu:
 1.       Aadati PotidunguAadati Potidungu ini ialah suatu pertanda penyerahan pelaksanaan. Apabila upacara pohutu momulanga di kabupaten, maka bubato lo limutu (pemangku adat kabupaten) menyerahkan pelaksanaan upacara kepada bubato lo hulontalo (pemangku adat kota). Penyerahan pelaksanaan acara ini disebut dengan “Mohudu tonggota” yang berarti penyerahan tanggung jawab. Pada penyerahan pelaksanaan tersebut. Dengan telah diserahkanya acara pelaksanaan upacara momulanga ke pemangku adat Gorontalo, maka kegiatan dimulai dengan membunyikan hantalo yang agak lama pertanda bahwa upacara akan dimulai.
2.        Aadati Lo’u LipuAcara ini adalah memaklumkan kepada hadirin bahwa upacara adat penobatan dan penganugerahan gelar adat akan dilaksanakan. Pemakluman ini dilakukan oleh Pemangku adat Gorontalo sebagai pelaksana upacara. Pemakluman dilaksanakan dengan bahasa adat
3.       Mopotuwoto/Mopoluwalo huwali lo HumbiaMopotuwoto huwali lo humbia adalah membawa Taa Tombuluwo (pejabat yang akan dinobatkan dan dianugerahi gelar adat) bersama Istri (Mbu’i) keluar dari kamar (humbia) di dalam istana menuju ke tempat duduk yang telah disediakan yaitu huhulo’a lo aadati to bulita (tempat duduk adat). Pada acara ini, dua orang pemangku adat mengucapkan Tuja’I
4.       Modiyambango (lonto huwali lo humbiya)Setelah taa Tombuluwo bersama istri telah berada dipintu kamar (huwali lo humbia), maka seorang pemangku adat yang bertugas menuntun taa Tombuluwo dan istri berjalan menuju tempat duduk yang disediakan. Sambil berjalan mundur pemangku adat tersebut mengucapkan tuja’i : Menuntun keluar dari huwali lo humbia menuju tempat duduk adat tersebut disebut dengan modiyambango (berjalan).
5.       Mopohulo’oTibanya taa Tombuluwo beserta istri ditempat duduk yang telah disediakan, telah menunggu seorang pemangku adat lain sambil mengucapkan tuja’I. Selesai tuja’I diucapkan diatas, taa Tombulowo dan istri segera duduk di tempat huhulo’a lo aadati yaitu berupa kasur yang telah dialas dengan permadani menghadap para tamu yang hadir. Istrinya duduk disebelah kiri taa Tombuluwo. Cara duduknya adalah tambe-tambelango (bersila).6.       MomulangaDengan telah dipersilahkannya taa Tombuluwo bersama istri duduk di huhulo’a lo aadati, maka acara intinya akan dilaksanakan yaitu momulanga. Yang bertugas membawa acara momulanga ini adalah pemangku adat Gorontalo (Baate lo Hulontalo). Baate lo Hulontalo duduk berhadapan dengan taa Tombuluwo yang sebelumnya didahului dengan molubo9 kepada taa Tombuluwo, kemudian Baate lo Hulontalo memegang tangan kanan taa Tombuluwo serta berjabat tangan dengan ibu jari saling bertemu. Dengan suara lantang dan berwibawa Baate lo Hulontalo mengucapkan tuja’i sebagai tanda penobatan dan penganugerahan gelar adat.  Dengan selesainya Tuja’I tersebut, maka tangan Baate lo Hulontalo melepaskan tangan taa Tombuluwo yang secara resmi menandakan penobatan dan penganugerahan gelar adat (momulanga) kepada bupati atau walikota tersebut selesai. Acara dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yaitu molahuli.7.        Molahuli atau mopoipito (ta’uda’a)Molahuli atau mopoipito (ta’uda’a) maksudnya adalah berpesan dan mengingatkan kepada bupati atau walikota yang baru dinobatkan dan dianugerahi gelar adat agar menjalankan amanah yang telah diamanahkan kepadanya. Acara ini dilaksanakan secara berganti-ganti oleh pemangku adat dari Gorontalo dan Pemangku adat dari Limboto (kabupaten) dengan mengucapkan tuja’i8.        Mongunti
Mongunti artinya menutup acara, setelah selesai acara molahuli artinya rangkaian upacara momulanga telah selesai, namun bukan berati molomeela huhulo’a lo bulita (membebaskan cara duduk di ruangan adat atau bulita). Mongunti ini dipimpin oleh seorang pemangku adat sambil mengucapkan tuja’I
9.       Modu’a
Pemangku adat dari Gorontalo (Baate lo Hulontalo) memaklumkan kepada yang dinobatkan dan dianugerahi gelar adat yang didahului molubo. Acara ini ditandai dengan bunyi genderang (hantalo) sebelum mopomaklumu. Pada waktu dihormati dengan molubo, taa Tombuluwo mengangkat tangan kanan dengan telunjuk lurus keatas yang berarti acara modu’a sudah disetujui untuk dilaksanakan. Modu’a ini dilaksanakan oleh iman (kadli) lo Hulontalo.
10.   Mongabi.
Apabila acara modu’a telah selesai, maka tahapan terakhir dari rangkaian acara ini adalah mongabi. Mongabi maksudnya adalah mengubah cara duduk adat (huhulo’a lo bulita) menjadi duduk santai. Baate lo Hulontalo dan Baate Lo Limutu memaklumkan bahwa tahapan terakhir dari rangkaian upacara momulanga adalah mongabi. Genderang (hantalo) dibunyikan. Empat orang pemangku adat dari kedua daeah menghadap dan molubo taa Tombuluwo, dan sebagai juru bicara dari Limboto dengan mengucapkan tuja’I  Dengan berakhirnya acara mongabi, maka ta Tombuluwo bersama Istri dan para tamu sudah boleh merubah cara duduk atau beristirahat, sebagai pertanda bahwa rangkaian pelaksanaan upacara adat momulanga telah selesai.                                    BAB VIPENUTUP E. Kesimpulan Upacara adat Pohutu Momulanga merupakan suatu upacarayang yang dilakukan untuk menobatkan dan menganugerahkan gelaradat kepada bupati atau walikota di Gorontalo. Upacara PohutuMomulanga ini dilaksanakakan setelah diadakan penilaian dari segiadat yang disebut dengan “Tili’o” atau “Ilalo” oleh para pemangku
adat. Ada enam aspek yang menjadi tolak ukur penilaian tersebut.Pelaksanaan upacara ini melibatkan semua unsur adat se-ProvinsiGorontalo.Pada upacara Pohutu Momulanga ini, banyak digunakan tuja’i
(syair-syair) berupa petuah-petuah dan nasehat-nasehat yangdisampaikan kepada pejabat yang diberi gelar adat. Makna-makna daripetuah dan nasehat tersebut adalah mengingatkan pemimpin agar tetapsenantiasa menjaga amanah yang telah rakyat (tuwango lipu)
percayakan kepadanya. x
x

0 komentar:

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

Berisi Tulisan dan Artikel yang berkaitan dengan Bahasa Arab, Sastra Arab, Pendidikan, Tafsir, Rasm, Qiraat, Budaya, Tradisi Islam Lokal

Powered by Blogger.

Wikipedia

Search results

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

BAHASA ARAB untuk Para Pemula

BAHASA ARAB untuk Para Pemula
Dr. Ibnu Rawandhy N. Hula, M.A dan Dr. Damhuri, M.Ag

BUKU

BUKU
Qawaid al-Imla' wa al-Khat

My Web List

Translate

Recent Posts

3/recent/post-list

Jam